Filosofi Urutan Jilid


Redaksi Pelangi Mizan melakukan penyesuaian dalam urutan jilid, sehingga urutan itu memiliki filosofi tersendiri, berikut ini filosofi urutan jilid Ensiklopedi Muhammad:

Paruh pertama Jilid 1, Muhammad sebagai Nabi, berisi uraian ringkas kisah hidup Nabi secara kronologis. Adapun paruh kedua jilid 1 dan jilid-jilid selanjutnya menyoroti aspek-aspek kehidupan Nabi secara tematis dalam urutan kronologis. Sebagaimana kita ketahui, sejak awal kehidupannya, Muhammad Saw. telah dike­nal oleh penduduk Makkah sebagai pribadi mulia, sehingga mendapat gelar al-amîn, “yang tepercaya, dapat diandalkan”. (Perincian sifat-sifat mulia beliau ini diuraikan pada Jilid 2, Muhammad sebagai Pribadi Mulia.)

Kemuliaan pribadi beliau ini telah tampak sejak dini: demi meringankan beban sang Paman yang mengasuhnya, Muhammad yang yatim piatu itu sudah menggembala domba sejak remaja untuk mendapatkan nafkah, kemudian berkarier sebagai pedagang yang sukses dan beretika luhur. (Perjalanan karier dagang Nabi serta ajaran-ajarannya di bidang bisnis dan ekonomi, dibahas pada Jilid 3, Muhammad sebagai Pedagang.)

Kesuksesan dan akhlak mulia beliau sebagai pebisnis ini sedemikian masyhur­nya, sehingga menarik hati sang Investor, Khadijah, untuk menikahinya. Maka, Muhammad putra Abdullah itu pun berkeluarga dan dikaruniai keturunan. (Aspek kehidupan keluarga beliau dibahas pada Jilid 4, Muhammad sebagai Suami dan Ayah.)

Sebagai kepala keluarga, Muhammad Saw. menjadi panutan bagi istri dan anak-anaknya: fungsinya bukan hanya mencari nafkah bagi keluarga, melainkan juga mendidik mereka agar berakhlak mulia. Fungsi pendidik ini dimulai dari mendidik diri sendiri, keluarga, lalu meluas ke mendidik masyarakat dan bangsa sehingga melahirkan kebudayaan dan peradaban Islam. (Hal ini diuraikan pada Jilid 5, Muhammad sebagai Pendidik.)

Pendidikan dan kebudayaan Islam ini ditopang oleh semangat kecintaan yang tinggi terhadap ilmu, dan memberi kontribusi yang amat besar bagi kemajuan per­adaban manusia, bukan hanya di negeri-negeri Muslim, melainkan meluas ke seluruh dunia seiring dengan persebaran ajaran Nabi Muhammad Saw. (Hal ini dibahas pada Jilid 6, Muhammad sebagai Pecinta Ilmu.)

Selama bertahun-tahun menggembleng dan mendidik diri, keluarga, kerabat, dan masyarakatnya dengan pendidikan tauhid, akhlak mulia, dan kecintaan terhadap ilmu, Nabi dan pengikutnya menghadapi banyak tekanan, ancaman, penindasan, siksaan, bahkan upaya pembunuhan. Ketika upaya perubahan sosial di negeri sendiri mengalami banyak hambatan, beliau pun memutuskan untuk hijrah mencari negeri lain yang lebih kondusif untuk membentuk masyarakat baru. Maka, beliau pun meluaskan perannya sebagai pemimpin masyarakat dan umat (ini dibahas pada Jilid 7, Muhammad sebagai Negarawan).

Dalam melaksanakan perannya ini, Muhammad Saw. mengalami banyak tan­tangan, tentangan, dan permusuhan, yang pertama-tama dihadapinya secara diplomatis. Namun, ketika upaya-upaya diplomatis dan damai ini gagal serta musuh-musuh tidak juga menghentikan kezalimannya, Muhammad Saw. terpaksa melawan mereka dengan kekuatan bersenjata (ini diuraikan pada Jilid 8, Muhammad sebagai Pemimpin Militer).

Lalu, demi menjaga stabilitas dan harmoni sosial yang beliau bangun, Sang Pemimpin umat ini perlu menetapkan batas-batas, aturan, dan hukum demi mem­berantas kezaliman dan mewujudkan keadilan sosial di tengah-tengah masyarakat dan umat (hal ini dibahas pada Jilid 9, Muhammad sebagai Hakim).

Pada akhirnya, semua fungsi dan peranan manusia, baik itu sebagai seorang nabi, pemuka agama, pemimpin masyarakat, pemimpin militer, hakim, pendidik, pebisnis, suami, istri, ayah, ibu, dan orang per orang sebagai pribadi, haruslah bermuara pada perbaikan harkat dan martabat kemanusiaan. Sebab, kualitas iman dan nilai seorang manusia diukur dari seberapa besar kontribusi dan manfaat yang dia berikan kepada dirinya, sesamanya, lingkungannya, dan bahkan kepada seluruh alam, sesuai sabda Nabi: “Manusia terbaik adalah yang paling memberi manfaat bagi manusia lain” (HR Tabrani) dan firman Allah Swt., Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 107). (Kontribusi Muhammad Saw. dalam bidang kemanusiaan ini diuraikan pada Jilid 10, Muhammad sebagai Pejuang Kemanusiaan.)